- Home »
- c.abg , c.daun muda »
- cerita dewasa - hana seorang gadis sma
Setiap paginya aku berangkat kerja pukul setengah tuhuj pagi karena jarak antara rumahku dan kator membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit jadinya aku berangkat awal untuk menghindari macet, seringkali jika berangkat pagi aku sering melihat gadis gadis anak sekolah yang mau berangkat ke sekolah dari anak SD sampai SMA berjajar menunggu angkutan lewat.
Karena angkutan umum sangat terbatas, biasanya mereka melambai-lambaikan tangannya dan mencoba menyetop kendaraan yang lewat untuk mendapatkan tumpangan.
Kadang-kadang ada juga kendaraan truk ataupun pick-up yang berhenti dan berbaik hati memberikan tumpangan, sedangkan kendaraan lainnya jarang mau berhenti, karena yang melambai-lambaikan tangannya berkelompok dan berjumlah puluhan.
Suatu hari Senin di bulan Oktober 98, aku keluar dari rumah agak terlambat yaitu jam 06.45 pagi. Kuperhatikan anak-anak sekolah yang biasanya ramai di sepanjang jalan itu mulai agak sepi, mungkin mereka sudah mendapatkan kendaraan ke sekolahnya masing-masing.
Saat perjalananku mencapai ujung desa Bedulan (tempat ini pasti dikenal oleh semua orang karena sering terjadi tawuran antar desa sampai saat ini), kulihat ada seorang anak sekolah perempuan yang melambai-lambaikan tangannya.
Setelah kulihat di belakangku tidak ada kendaraan lain, aku mengambil kesimpulan kalau anak sekolah itu berusaha mendapatkan tumpangan dariku dan karena dia seorang diri di sekitar situ maka segera kuhentikan kendaraanku serta kubuka kacanya sambil kutanyakan,
“Mau ke mana dik?”. Kulihat anak sekolah itu agak cemas dan segera menjawab pertanyaanku, “Pak boleh saya ikut sampai di SMA——– (edited by Yuri)”, dari tadi kendaraan umum penuh terus dan saya takut terlambat?, dengan wajah yang penuh harap.
“Yaa…, OK lah.., naik cepat”, kataku. “Terima kasih paak”, katanya sambil membuka pintu mobilku.
Jarak dari sini sampai di sekolahnya kira-kira 10 Km dan selama perjalanan kuselingi dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, sehingga aku tahu kalau dia itu duduk di kelas 3 SMU di——dan bernama Hana.
Tinggi badannya kira-kira 155 cm, Hanana kulitnya bisa dibilang agak hitam bersih dan tidak cantik tapi manis dan menarik untuk dilihat, entah apanya yang menarik, mungkin karena matanya agak sayu.
Tidak terlalu lama, kendaraanku sudah sampai di daerah——-dan Hana segera memberikan aba-aba.
“Ooom…, sekolah saya ada di depan itu”, katanya sambil jarinya menunjuk satu arah di kanan jalan. Kuhentikan kendaraanku di depan sekolahnya dan sambil menyalamiku Hana mengucapkan terima kasih. Sambil turun dari mobil, Hana masih sempat bertanya,
“Oom…, besok pagi saya boleh ikut lagi.., nggak Oom, lumayan Oom…, bisa naik mobil bagus ke sekolah dan sekalian menghemat ongkos.., boleh yaa.. Oom?”. Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu, tapi kupandangi wajahnya, lalu kujawab, “Boleh boleh saja Hana ikut Oom, tapi jangan bergerombol ikutnya yaa”.
“Enggak deh Oom, saya cuma sendiri saja kok selama ini”.
Setiap pagi sewaktu aku mencapai desa itu, Hana sudah ada di pinggir jalan dan melambaikan tangannya untuk menghentikan mobilku. Dalam setiap perjalanan dia makin lama makin banyak bercerita soal keluarganya, kehidupannya di desa, teman-teman sekolahnya dan dia juga sudah punya pacar di sekolahnya.
Ketika kutanya apakah pacarnya tidak marah kalau setiap hari naik mobil orang, Hana bilang tidak apa-apa tapi tanpa ada penjelasan apapun, sepertinya dia enggan menceritakan lebih jauh soal pacarnya. Hana juga cerita bahwa selama ini dia tidak pernah kemana-mana, kecuali pernah dua kali di ajak pacarnya piknik ke daerah wisata di Kuningan.
Seminggu kemudian di hari Jum’at, waktu Hana akan naik di mobilku kulihat wajahnya sedih dan matanya bengkak seperti habis menangis dan Hana duduk tanpa banyak bicara.
Karena penasaran, kusapa dia, “Hana, habis nangis yaa…, kenapa..? coba Hana ceritakan.., siapa tahu Oom bisa membantu”. Hana tetap membisu dan sedikit gelisah. Lama dia diam saja dan aku juga tidak mau mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi kemudian dia berkata, “Oom, saya habis ribut dengan Bapak dan Ibu”, lalu dia diam lagi.
“Kalau Hana percaya pada Oom, tolong coba ceritakan masalahnya apa, siapa tahu Oom bisa membantu”, kataku tetapi Hana saja tetap membisu.
Ketika mobilku sudah mendekati sekolahnya, tiba-tiba Hana berkata, “Oom…, boleh nggak Hana minta waktu sedikit buat bicara di sini, mumpung masih belum sampai di sekolah”. Mendengar permintaannya itu, segera saja kuhentikan mobilku di pinggir jalan dan kira-kira jaraknya masih 2 Km dari sekolahnya.
“Ada apa Hana…?”, Kataku. Hana tetap diam dan sepertinya ada keraguan untuk memulai berbicara.
“Ayoo…, lah Hana (sebenarnya pengarang penuliskan tiga harus terakhir dari namanya, tapi terpaksa oleh Yuri diganti jadi 3 huruf terdepan), jangan takut atau ragu…, ada apa sebenarnya”, tanyaku lagi.
“Begini…, Oom, kata Hana”, lalu dia menceritakan bahwa tadi malam dia minta uang kepada orang tuanya untuk membayar uang sekolahnya yang sudah tiga bulan belum dibayar dan hari ini adalah hari terakhir dia harus membayar, karena kalau tidak dia tidak boleh mengikuti ulangan.
Orang tuanya ternyata tidak mempunyai uang sama sekali, padahal uang sekolah yang harus dibayar itu sebesar 80 ribu rupiah. Alasan orang tuanya karena panen padi yang diharapkan telah punah karena hujan yang terus menerus. Dan katanya lagi orang tuanya menyuruh dia berhenti sekolah karena tidak mampu lagi untuk membayar uang sekolah dan mau dikimpoikan dengan tetangganya.
Aku tetap diam untuk mendengarkan ceritanya sampai selesai dan karena Hana juga terus diam, lalu kutanya, “Teruskan ceritamu sampai selesai Hana”. Dia tidak segera menjawab tapi yang kulihat airmatanya terlihat menggenang dan sambil mengusap air matanya dia berkata,
“Oom, sebetulnya masih banyak yang ingin Hana ceritakan, tapi saya takut nanti Oom terlambat ke kantornya dan Hana juga harus ke sekolah, serta lanjutnya lagi…, kalau Oom ada waktu dan tidak keberatan, saya ingin pergi dengan Oom supaya saya bisa menceritakan semua masalah pribadi saya”.
Setelah diam sejenak, lalu Hana berkata lagi, “Oom, kalau ada dan tidak keberatan, saya mau pinjam uang Oom 80 ribu untuk membayar uang sekolah dan saya janji akan mengembalikan setelah saya dapat dari orang tua saya”.
Mendengar cerita Hana walaupun belum seluruhnya, hatiku terasa tersayat dan segera kurogoh dompetku dan kuambilkan uang 200 ribu dan segera kuberikan padanya.
“Lho Oom, kok banyak benar…, saya takut tidak dapat mengembalikannya”, katanya sambil menarik tangannya sebelum uang dari tanganku dipegangnya.
“Hana.., ambillah…, nggak apa-apa kok, sisanya boleh kamu belikan buku-buku atau apa saja…, saya yakin Hana membutuhkannya”, dan segera kupegang tangannya sambil meletakkan uang itu ditangannya dan sambil kukatakan,
“Hana.., ini nggak usah kamu beritahukan kepada siapa-siapa, juga jangan kepada orang tuamu…, dan Hana nggak perlu mengembalikannya”.
Belum selesai kata-kataku, tiba-tiba saja dari tempat duduknya dia maju dan mencium pipi kiriku sambil berkata,
“Terima kasih banyak Oom.., Oom.. sudah banyak menolong saya”. Aku jadi sangat terkesiap dan berdebar, bukan karena mendapat ciuman di pipiku, tapi karena tangan kiriku tersentuh buah dadanya yang terasa sangat empuk sehingga tidak terasa penisku menjadi tegang dan sementara Hana masih mencium pipiku, kugunakan tangan kananku untuk membelai rambutnya dan kucium hidungnya.
“Ayoo…, Hana…, sudah lama kita di sini, nanti kamu terlambat sekolahnya”.
Hana tidak menjawab tapi kulihat dikedua matanya masih tergenang air matanya. Ketika sudah sampai di depan sekolahnya sambil membuka pintu mobil, Hana berkata, “Oom.., terima kasih yaa.. Ooom dan kapan Oom ada waktu untuk mendengar cerita Hana”.
“Kalau besok gimana..?, kataku.
“Boleh.., oom”, jawabnya cepat.
“Lho…, besok kan masih hari Sabtu dan Hana kan harus sekolah”, jawabku.
“Sekali-kali mbolos kan nggak apa apa Oom…, hari Sabtu kan pelajarannya tidak begitu padat dan kurang penting”, kata Hana.
“Oklah…, kalau begitu…, Hana, kita ketemu besok pagi ditempat biasa kamu menunggu”.
Dalam perjalanan ke kantor setelah Hana turun, masalah Hana terasa mengganggu pikiranku sehingga tidak terasa aku sudah sampai di kantor.
Sebelum pulang kantor, aku izin untuk tidak masuk besok Sabtu pada Bossku dengan alasan akan mengurus persoalan keluarga di Kuningan. Demikian juga waktu malamnya kukatakan pada istriku kalau aku harus ke Jakarta untuk urusan kantor dan kalau selesainya telat terpaksa harus menginap dan pulang pada hari Minggu.
Besok paginya dengan berbekal 1 stel pakaian yang telah disiapkan oleh Istriku, aku berangkat dan sampai di tempat yang biasa, kulihat Hana tetap memakai baju seragam sekolahnya. Setelah dia naik ke mobil, kembali kulihat matanya tetap seperti habis menangis.
Lalu kutanya, “Hana…, habis perang lagi yaa?, soal apa lagi?”.
“Oom, ceritanya nanti saja deh”, katanya agak malas.
“Kita mau kemana Oom?”, Tanyanya.
“Lho…, terserah Hana saja.., Oom sih ikut saja”.
“Oom…, saya kepingin ke tempat yang agak sepi dan nggak ada orang lain…, jadi kalau-kalau Hana nangis, nggak ada yang melihatnya kecuali Oom”.
Sambil memutar mobilku kembali ke arah Cirebon, aku berpikir sejenak mau ke tempat mana yang sesuai dengan permintaan Hana, dan segera teringat kalau di pinggiran kota Cirebon yang ke arah Kuningan ada sebuah lapangan Golf dan Cottage CPN.
Segera saja kukatakan padanya, “Hana… Tempat yang sesuai dengan keinginanmu itu kayaknya agak susah, tapi…, bagaimana kalau kita ke CPN saja..?”.
“Dimana itu Oom dan tempat apaan?”,tanya Hana.
Aku jadi agak susah menjelaskannya, tapi kujawab saja, “Tempatnya sih nggak jauh yaitu sedikit di luar Cirebon dan…, begini saja deh.., Hana.., kita ke sana dulu dan kalau Hana kurang setuju dengan tempatnya, kita cari tempat lain lagi”.
Setelah sampai di tempat dan mendaftar di receptionist serta memesan minuman ringan serta mengambil kunci kamarnya, segera aku kembali ke mobil dan kutanyakan pada Hana–“gimana Hana.., kamu mau disini..?, lihat saja tempatnya sepi (maklum saja masih pagi-pagi. Receptionistnya saja seperti terheran-heran, sepertinya berfikir kok ada tamu pagi-pagi sekali dan nomor mobilnya bukan dari luar kota).
Setelah mobil kuparkir di depan kamar, sebelum turun kutanya dia kembali, “Hana…, gimana.., mau di sini? atau mau cari tempat lain?”. Hana tidak segera menjawab pertanyaanku, tapi dia ikut turun dari mobil dan mengikutiku ke arah pintu kamar motel.
Segera setelah sampai di dalam, dia langsung duduk di tempat tidur sambil memperhatikan seluruh ruangan. Karena kulihat dia tetap diam saja, aku jadi merasa tidak enak dan segera kudekati dia yang masih tetap duduk di pinggiran tempat tidur dan sambil agak berlutut, kucium keningnya beberapa saat dan tiba-tiba saja Hana memelukku dan terdengar tangisan lirih sambil terisak-isak.
Sambil masih memelukku, kuangkat berdiri dari duduknya dan kuelus-elus rambutnya, sambil kucium pipinya serta kukatakan, “Hana coba tenangkan dirimu dan ceritakan semua masalah mu pada Oom…, siapa tahu Oom bisa membantumu dalam memecahkan masalahmu itu”.
Hana masih saja memelukku tapi senggukan tangisnya mulai mereda. Beberapa saat kemudian kubimbing dia ke arah tempat tidur dan perlahan kutelentangkan Hana di tempat tidur dan kurangkulkan tangan kiriku di bahunya dan kupandangi wajahnya, sambil kukatakan, “Hana cobalah ceritakan masalahmu itu dan biar Oom bisa mengetahui permasalahanmu itu”.
Hana tetap diam saja dan memejamkan matanya, tapi tak lama kemudian, sambil menyeka air matanya dia membuka matanya dan memandang ke arahku yang jaraknya antara wajahnya dan wajahku sangat dekat sekali.
“Oom…”, katanya seperti akan memulai bercerita, tapi lalu dia diam lagi. “Hana…”, kataku sambil kucium pipinya dan kuusap-usapkan jari tangan kananku di rambutnya, “cerita lah”.
Lalu Hana mulai bercerita dan dia menceritakan secara panjang lebar soal kehidupan keluarganya yang miskin, dia anak pertama dari 3 bersaudara, tentang pacarnya di sekolah tapi lain kelas yang sudah 2 tahun pacaran dan sekarang sudah meninggalkan dia karena mendapatkan pacar baru di kelasnya dan dia juga menceritakan kalau orang tuanya sudah menjodohkan dengan tetangganya yang sudah punya istri dan anak, tapi kaya dan rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah Hana dan dia harus segera berhenti dari sekolahnya karena akan dikimpoikan pada bulan Maret akan datang.
Hana katanya kepingin sekolah dulu dan belum pingin kimpoi, apalagi kimpoi dengan orang yang sudah punya Istri dan anak. Hana punya keinginan mau lari dari rumahnya, tapi tidak tahu mau ke mana.
Hana juga menceritakan bahwa sebetulnya dia masih cinta kepada kawan sekolahnya itu, apalagi dia sudah telanjur pernah tidur bersama sewaktu piknik ke Kuningan dulu, walaupun katanya dia tidak yakin kalau punya pacarnya itu sudah masuk ke vaginanya apa belum, karena belum apa-apa sudah keluar katanya.
“Jadi…, gimana.., Oom.., apa yang harus saya perbuat dengan masalah ini, katanya setelah menyelesaikan ceritanya.
“Hana”, kataku sambil kembali kuelus-elus rambutnya dan kucium pipinya di dekat bibirnya.
“Hana…, masalahmu kok begitu rumit, terutama persoalan lamaran tetanggamu itu. Begini saja Hana…, sebaiknya kamu minta kepada orangtuamu untuk menunda perkimpoian itu sampai kamu selesai sekolah. Bilang saja…, kalau ujian SMA-mu hanya tinggal beberapa bulan lagi”.
“Katakan lagi…, sayang kalau biaya yang telah dikeluarkan selama hampir tiga tahun di SMA harus hilang percuma tanpa mendapatkan Ijasah. Hana…, sewaktu kamu mengatakan ini semua, jangan pakai emosi, katakan dengan lemah lembut, mudah-mudahan saja orang tuamu mau mengerti dan mengundurkan perjodohanmu dengan tetanggamu itu”.
“Kalau orang tuamu setuju, jadi kamu bisa konsentrasi untuk menyelesaikan sekolahmu dan yang lainnya bisa dipikirkan kemudian”.
Setelah selesai memberikan saran ini, lalu kembali kucium pipinya seraya kutanya…, “Hana…, bagaimana pendapatmu dengan saran Oom ini?”.
Seraya saja Hana bangkit dari tidurnya dan memelukku erat-erat sambil menciumi pipiku dan berkata, “Ooom…, terima kasih.., atas saran Oom ini…, belum terpikir oleh saya sebelumnya hal ini…, Oom sangat baik terhadap Hana entah bagaimana caranya saya membalas kebaikan Oom”, dan terasa air matanya menetes di pipiku.
Setelah diam sesaat, kembali kurebahkan badan Hana telentang dan kulihat dari matanya yang tertutup itu sisa air matanya dan segera kucium kedua matanya dan sedikit demi sedikit cimmanku kuturunkan ke hidungnya dan terus turun ke pipi kirinya, setelah itu kugeser ciumanku mendekati bibirnya.
Karena Hana masih tetap diam dan tidak menolak, keberanianku semakin bertambah dan secara perlahan-lahan kugeser ciumanku ke arah bibirnya, dan tiba-tiba saja Hana menerkam dan memelukku serta mencari bibirku dengan matanya yang masih tertutup. Aku berciuman cukup lama dan sesekali lidahku kujulurkan ke dalam mulutnya dan Hana mengisapnya.
Sambil tetap berciuman, kurebahkan badannya lagi dan tangan kananku segera kuletakkan tepat di atas buah dadanya yang terasa sangat kenyal dan sedikit kuremas. Karena tidak ada reaksi yang berlebihan serta Hana bukan saja mencium bibirku tapi seluruh wajahku, maka satu persatu kancing baju SMU-nya berhasil kulepas dan ketika kusingkap bajunya, tersembul dua bukit yang halus tertutup BH putih tipis dan ukurannya tidak terlalu besar.
Ketika kucoba membuka baju sekolahnya dari tangan kanannya, Hana kelihatannya tetap diam dan malah membantu dengan membengkokkan tangannya. Setelah berhasil melepas baju dari tangan kanannya, segera kucari kaitan BH-nya di belakang dan dengan mudah kutemukan serta kulepaskan kaitannya, sementara itu kami masih tetap berciuman, kadang dibibir dan sesekali di seluruh wajah bergantian.
BH-nya pun dengan mudah kulepas dari tangan kanannya dan ketika kusingkap BH-nya, tersembul buah dada Hana yang ukurannya tidak terlalu besar tapi menantang dan dengan puting susunya berHanana kecoklatan.
Dan dengan tidak sabar dan sambil meremas pelan payudara kanannya, kuturunkan wajahku menyelusuri leher dan terus ke bawah dan sesampainya di payudaranya, kujilati payudara Hana yang menantang itu dan sesekali kuhisap puting susunya, sementara Hana meremas-remas rambutku seraya terdengar suara lirih,
“aahh…, aahh…, ooomm…, ssshh…, aahh”. Aku paling tidak tahan kalau mendengar suara lirih seperti ini, serta merta penisku semakin tegang dan kugunakan kesempatan ini sambil tetap menjilati dan menghisap payudara Hana, kugunakan tangan kananku untuk menelusuri bagian bawah badan Hana
Ketika sampai di celana dalamnya serta kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih tetap menjilati payudara Hana, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari samping CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan Hana terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar, “aahh…, ssshh…, ssshh…, aahh”.
Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara Hana mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya untuk segera kulepas.
Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan Hana.
Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku serta ciumanku menelusuri perut Hana seraya tanganku berusaha menurunkan roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya dan kuperhatikan Hana mengenakan CD Hanana merah muda dan kulihat juga vaginanya yang menggunung di dalam CD-nya.
Badan Hana menggelinjang saat ciumanku menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya, gelinjang badan Hana semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta sesekali memanggil, “ssshh…, aahh…, ssshht…, ooom…, aahh”.
Sambil kujilati lipatan pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka, kuperhatikan vagina Hana masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat jelas belahan vaginanya dan basah.
Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua kaki Hana yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua paha Hana sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan lidahku dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka agak lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba Hana bangun dari tidurnya dan berkata, “Jaa…, ngaan…, Ooom”, sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya.
Karena takut Hana akan marah, maka dengan terpaksa aku bangkit dan kupeluk Hana serta berusaha menidurkannya lagi sambil kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. Hana tidak memberikan komentar apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan Hana sepertinya lebih bernafsu dari sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku.
Sementara itu tanganku kugunakan untuk melepas baju dan BH Hana yang sebelah dan yang tadi belum sempat kulepas, Hana sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman, sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.
Setelah aku berhasil melepas semua pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut Hana akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri atau kanan badan Hana, sekarang aku naik di atas badan Hana.
Perkiraanku ternyata salah, setelah aku ada di atas badan Hana, ternyata dia malah memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan paha Hana.
Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan Hana malah merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina Hana. Hana masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.
Sambil masih tetap kujilat dan ciumi seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku, perlahan-lahan kuelus vagina Hana yang menggembung dan setelah beberapa saat lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan Hana serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina Hana sangat basah dan kurasakan badan bawah Hana bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga Hana sering berdesis, “Ssshh…, ssshh…, aahh…, ssshh”, sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk punggungku.
Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina Hana dan kugunakan tangan kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina Hana sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina Hana, serta kembali kudengar desis suaranya,
“ssshh…, ssshh…, ooom…, aahh…, ssshh”, dan pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat Hana sudah sangat terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina Hana.
Kuperhatikan wajah Hana agak mengerenyit seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara pelan tepat di dekat telingaku,
“Aduuuhh…, ooomm…, Jangaannn…, sakiiittt…, Asiihh.., takuuut., Oom”. Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta kubisikan,
“Tidak…, apa-apa…, sayaang…, Oom…, pelan-pelan saja…, kok”, untuk menenangkan ketakutan Hana. Hana tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.
Karena dia diam saja dan memejamkan kedua matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam vaginanya dan terdengar lagi Hana berkata lirih di dekat telingaku, “Aduuuhh…, sakiiittt…, ooom…, Asihh.., takuuut”, padahal kurasakan kalau Hana mulai lagi menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.
Mendengar kata-katanya yang lirih ini, kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya sambil kubisiki, “Takut apa sayang..”.
Hana tidak segera menjawab pertanyaanku itu. Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan Hana mulai lagi melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam mulutnya dan kurasakan Hana mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke atas pantatku.
Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua tangan Hana sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.
Sementara aku diamkan saja dan dengan masih berciuman, kutunggu reaksi Hana selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke daerah dekat telinganya, kulihat Hana berusaha mengelak mungkin karena kegelian dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku.
Lalu kembali kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam liang kewanitaannya, tapi Hana tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam vaginanya serta kulihat mata Hana menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.
Karena penisku belum juga menembus vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam vagina Hana dan, “Bleeesss”, terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina Hana dan, “aahh…, sakiiit…, ooom
Ketika sampai di celana dalamnya serta kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih tetap menjilati payudara Hana, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari samping CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan Hana terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar,
“aahh…, ssshh…, ssshh…, aahh”. Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara Hana mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya untuk segera kulepas. Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan Hana.
Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku serta ciumanku menelusuri perut Hana seraya tanganku berusaha menurunkan roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya dan kuperhatikan Hana mengenakan CD Hanana merah muda dan kulihat juga vaginanya yang menggunung di dalam CD-nya.
Badan Hana menggelinjang saat ciumanku menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya, gelinjang badan Hana semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta sesekali memanggil, “ssshh…, aahh…, ssshht…, ooom…, aahh”.
Sambil kujilati lipatan pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka, kuperhatikan vagina Hana masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat jelas belahan vaginanya dan basah.
Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua kaki Hana yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua paha Hana sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan lidahku dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka agak lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba Hana bangun dari tidurnya dan berkata, “Jaa…, ngaan…, Ooom”, sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya.
Karena takut Hana akan marah, maka dengan terpaksa aku bangkit dan kupeluk Hana serta berusaha menidurkannya lagi sambil kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. Hana tidak memberikan komentar apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan Hana sepertinya lebih bernafsu dari sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku.
Sementara itu tanganku kugunakan untuk melepas baju dan BH Hana yang sebelah dan yang tadi belum sempat kulepas, Hana sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman, sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.
Setelah aku berhasil melepas semua pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut Hana akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri atau kanan badan Hana, sekarang aku naik di atas badan Hana.
Perkiraanku ternyata salah, setelah aku ada di atas badan Hana, ternyata dia malah memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan paha Hana.
Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan Hana malah merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina Hana. Hana masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.
Sambil masih tetap kujilat dan ciumi seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku, perlahan-lahan kuelus vagina Hana yang menggembung dan setelah beberapa saat lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan Hana serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina Hana sangat basah dan kurasakan badan bawah Hana bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga Hana sering berdesis, “Ssshh…, ssshh…, aahh…, ssshh”, sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk punggungku.
Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina Hana dan kugunakan tangan kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina Hana sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina Hana, serta kembali kudengar desis suaranya,
“ssshh…, ssshh…, ooom…, aahh…, ssshh”, dan pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat Hana sudah sangat terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina Hana.
Kuperhatikan wajah Hana agak mengerenyit seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara pelan tepat di dekat telingaku, “Aduuuhh…, ooomm…, Jangaannn…, sakiiittt…, Asiihh.., takuuut., Oom”. Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta kubisikan,
“Tidak…, apa-apa…, sayaang…, Oom…, pelan-pelan saja…, kok”, untuk menenangkan ketakutan Hana. Hana tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.
Karena dia diam saja dan memejamkan kedua matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam vaginanya dan terdengar lagi Hana berkata lirih di dekat telingaku, “Aduuuhh…, sakiiittt…, ooom…, Asihh.., takuuut”, padahal kurasakan kalau Hana mulai lagi menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.
Mendengar kata-katanya yang lirih ini, kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya sambil kubisiki, “Takut apa sayang..”.
Hana tidak segera menjawab pertanyaanku itu. Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan Hana mulai lagi melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam mulutnya dan kurasakan Hana mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke atas pantatku.
Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua tangan Hana sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.
Sementara aku diamkan saja dan dengan masih berciuman, kutunggu reaksi Hana selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke daerah dekat telinganya, kulihat Hana berusaha mengelak mungkin karena kegelian dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku.
Lalu kembali kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam liang kewanitaannya, tapi Hana tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam vaginanya serta kulihat mata Hana menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.
Karena penisku belum juga menembus vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam vagina Hana dan, “Bleeesss”, terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina Hana dan, “aahh…, sakiiit…, ooom….”, kudengar suara Hana sambil seperti menahan rasa sakit dan berusaha menarik pantatku. Untuk sementara tidak kugerakkan pantatku dan setelah kulihat Hana mulai tenang dan kembali mau menciumi wajahku, lalu perlahan-lahan kutekan penisku yang sudah menembus vaginanya supaya masuk lebih dalam lagi
“aahh…, oom…, pelan…, pelaan..”, kudengar Hana berkata lirih.
“Iyaa…, sayaang…, ooom pelah-pelan”, jawabku serta kubelai rambutnya. Setelah kudiamkan sebentar, lalu kugerakkan pantatku naik turun sangat pelan agar Hana tidak merasa kesakitan, dan ternyata berhasil, wajah Hana keperhatikan tidak tegang lagi sehingga pergerakan penisku keluar masuk vagina Hana sedikit kupercepat dan belum berapa lama terdengar suara Hana, “ooom…, ooom…, aaduuuhh…, ooomm…, aahh”,
sambil kedua tangannya mencengkeram punggungku dengan kuat dan menciumi keseluruhan wajahku dengan sangat bernafsu dan badannya berkeringat, lalu Hana berteriak agak keras, “aahh…, ooomm…, aduuuhh..”, lalu Hana terkapar dan terdiam lemas dengan nafas terengah-engah. Rupanya Aku yakin kalau Hana sudah mencapai orgasmenya padahal nafsuku baru saja akan naik.
Karena kulihat Hana sepertinya sedang kelelahan dengan kedua matanya tertutup rapat, jadi timbul rasa kasihanku, lalu sambil kuseka keringat wajahnya kuciumi pipi dan bibirnya dengan lembut, tapi Hana tidak bereaksi dan tanpa kuduga di gigitnya bibirku yang sedang menciumnya seraya berkata lirih,
“ooom…, nakal…, yaa, Hana baru sekali ini merasakan hal seperti tadi”, sambil mencubit punggungku. Aku tidak menjawab komentarnya tapi yang kuperhatikan adalah nafasnya sudah mulai teratur dan secara perlahan-lahan aku mulai menggerakkan penisku lagi keluar masuk vagina Hana.
Kuperhatikan Hana mulai terangsang lagi, Hana mulai menghisap bibirku dan mulai mencoba menggerakkan pantatnya pelan-pelan dan gerakannya ini membuat penisku seperti di pelintir keenakan. Gerakan penisku keluar masuk semakin kupercepat dan demikian juga Hana mulai makin berani mempercepat gerakan putaran pantatnya,
sambil sesekali kedua tangannya yang dipelukkan dipinggangku berusaha menekan sepertinya menyuruhku untuk memasukkan penisku ke dalam vaginanya lebih dalam lagi dan kudengar Hana mulai bersuara lagi…, “aahh…, aahh…, ooohh…, oomm…, aah”, dan tidak terasa akupun mulai berkicau, “aacchh…, aahh…, Siiihh…, enaakk…, teruuus…, Siiih”. Ketika nafsuku sudah mulai memuncak dan kudengar juga nafas Hana semakin cepat, dengan perlahan-lahan kupeluk badan Hana dan segera kubalik badannya sehingga sekarang Hana sudah berada di atasku dan kupelukkan kedua tanganku di pantatnya, s
edangkan wajah Hana ditempelkan di wajahku. Dengan sedikit makan tenaga, kucoba menggerakkan pantatku naik turun dan setiap kali pantatku naik, kugunakan kedua tanganku menekan pantat Hana ke bawah dan bisa kurasakan kalau penisku masuk lebih dalam di vagina Hana, sehingga setiap kali kudengar suaranya sedikit keras,
“aahh…, oooh”. Dan mungkin karena keenakan, sekarang gerakan Hana malah lebih berani dengan menggerakkan pantatnya naik turun sehingga kedua tanganku tidak perlu menekannya lagi dan setiap kali pantatnya menekan ke bawah sehingga penisku serasa masuk semuanya di vagina Hana, kudengar dia bersuara keenakan, “Aahh…, aah disertai nafasnya yang semakin cepat, demikian juga aku sambil berusaha menahan agar maniku tidak segera keluar.
Gerakan Hana semakin cepat saja dan kurasakan wajahnya semakin ditekankan ke wajahku sehingga kudengar nafasnya yang sangat cepat itu di dekat telingaku dan, “Aduuuh…, aahh…, aahh…, ooomm.., Hana…, mauuu.., keluaar…, aah”.
“Tungguuu…, Waarrr.., kitaa…, samaa…, samaa., ooom.., Jugaa.., mauuu…, keluarr”.
“aahh…, aahh…, ooomm”, teriak Hana sambil mengerakkan pantatnya menggila dan akupun karena sudah tidak tahan menahan maniku dari tadi segera kegerakkan pantatku lebih cepat dan,
“Crreeettt…, ccrreeett…, ccccrrreeett…, dan “aahh…, siiihh…, ooom keluaar”, sambil kutekan pantat Hana kuat-kuat.
Setelah beristirahat sebentar, kuajak Hana ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan Hana kembali menjatuhkan badannya di tempat tidur, mungkin masih merasakan kelelahan. Tak terasa jam sudah menunjukkan hampir jam 12 siang dan segera saja kupesan makan siang